Oleh : Rahmat Teguh Santoso Gobel S.H
Demokrasi
berdasarkan konstitusi atau demokrasi konstitusional adalah sebuah frasa yang
hadir dengan perhelatan sejarah yang sangat panjang di Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang kita cintai, proposisi (gagasan) ini muncul dengan suatu
pengharapan dapat menciptakan pemerintahan yang tidak otoriter dan selalu
bernafaskan demokratis, sehingga otoritas sang penguasa dibatasi oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi pedoman dan
pelaksanaan dari esensi kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Cita-cita itu
telah terurai secara runut dan runtut dalam kerangka demokrasi konstitusional
yang menjadi bagian dari sebuah kontrak sosial sebagai pemenuhan hak-hak
konstitusional warga negara.
John Locke (antara tahun 1632-1704) dalam
teori kontrak sosial menyatakan munculnya konsep bernegara dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat terbagi atas susunan proses yang disebut dengan Pactum
Unionis dan Pactum Subjectionis. Pactum Unionis mengedepankan kebutuhan
masyarakat untuk hidup berkumpul dan bersatu dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan dan kedamaian, serta Pactum Subjectionis berupa kekuasaan suatu
negara melalui pemerintahnya untuk menciptakan kesejahteraan dan kedamaian.
Negara yang sudah terbentuk pada akhirnya harus bisa menjadi kesejahteraan
rakyat dan melindungi kehidupan warga negara.
Mengingat
urgensi dari hak rakyat dalam suatu demokrasi, pemerintah harus dan wajib
menjaga dan memelihara serta menjunjung tinggi dalam setiap political decition yang dihasilkan oleh
lembaga eksekutif dan legislatif. Memperhatikan tujuan dari satu negara
mengandung makna bahwa pemerintah harus melaksanakan setiap perundang-undangan
yang demokratis untuk memberi kesejahteraan pada rakyat serta menempatkan
rakyat sebagai sumber dari dinamika politik menuju suatu bangsa yang berdaulat.
Menetapkan hak-hak rakyat sebagai tujuan utama demokrasi, mulai dari hak
memilih (suara), melindungi suara rakyat, memfasilitasi suara rakyat hingga
mengembalikan kepada rakyat dalam bentuk rill seperti kebutuhan infrastruktur,
pendidikan, kesehatan, kesempatan bekerja, pencerdasan politik, ketahanan
pangan, keamanan, kelayakan hidup, keadilan dan sarana kesejahteraan rakyat
lainnya.
Pada
tataran praksis, Manifestasi dari kedaulatan rakyat terealisasi dalam konteks
pemilihan umum. Pasca runtuhnya rezim orde baru, telah mengilhami para
pembentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk
menyerahkan kedaulatan secara penuh kepada rakyat. Hal ini telah menganulir
kedaulatan yang sebelumnya di jalankan oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat.
Pergerakan pemikiran kedaulatan rakyat bergulir ketika ruang aspirasi dan
kebebasan berekspresi di bongsai oleh rezim orde baru yang tujuannya membungkam
suara revolusi, lalu kemudian menggerus pada tindakan anarkis oleh aparat. Parlemen
yang semestinya menjadi benteng kekuatan untuk menyeimbangi kekuasaan
pemerintah justru berbalik haluan dengan masyarakat. Pemerintah dan parlemen seperti
duet maut yang menggaungkan nyanyian kesejahteraan dalam satu panggung politik
yang artifisial (semu). Celakanya, pemerintah mampu mengotak-atik parlemen
secara terstruktur dan sistematis yang berimplikasi pada krisis legitimasi.
Sri Sultan Hamengkubuono XI pernah
berpendapat bahwa dalam sejarah politik Indonesia, terutama sejak orde baru
hingga sekarang ini, rakyat telah dikeluarkan dari kehidupan politik. Sebagai
contoh, kita sudah empat kali mengalami amandemen konstitusi tanpa konsultasi
rakyat. Ada banyak sekali produk politik yang tidak sesuai dengan keinginan
rakyat, namun tetap dipaksakan untuk berlaku.
Terobosan Mahkamah Konstitusi dalam
Putusannya Nomor 100_PUU-XIII_2015 sangat populis dalam menerjemahkan masalah
konstitusionalitas pemilihan kepala daerah. Meskipun Mahkamah Konstitusi (negatif legislator) telah melampui
batasan wewenangnya dalam memberikan suatu kebijakan (policy maker atau positif legislator,
yang sebenarnya wewenang DPR) melalui keputusan hukumnya yaitu mekanisme
referendum dapat dilakukan didaerah yang memiliki pasangan calon tunggal kepala
daerah, tetapi langkah tersebut menjadi bentuk konsistensi Mahkamah Konstitusi
sebagai The Guardian Of The Constitution dalam
rangka memenuhi hak dipilih dan memilih oleh warga negara demi menjaga
konstitusi yang hidup (Living
Constitution). Secara konstitusional desain pemilihan kepala daerah telah
di jelaskan secara eksplisit dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 18 ayat (4) dijelaskan bahwa Gubernur,
Walikota dan Bupati masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah yang
dipilih secara demokratis. Frasa kata “demokratis” berarti dipilih langsung
atau tidak langsung. Langsung dipilih oleh rakyat dan tidak langsung dipilih
oleh DPRD sebagai representasi rakyat. Jika memahami historikal perumusan
metode pemilihan kepala daerah, pada dasarnya pembentuk Undang-Undang Dasar
menginginkan adanya kontestasi yaitu harus ada lebih dari satu pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih rakyat. Tetapi kita tidak
bisa menafikan bahwa pada hakikatnya hukum yang akan mengikuti perkembangan zaman
dan sulit untuk dipungkiri metode pemilihan kepala daerah yang selalu
berubah-ubah justru akan menjadi kebutuhan masyarakat yang semestinya di
akomodir, bukan untuk di tolerir.
Sebenarnya semangat pemilihan kepala daerah
secara serentak yaitu efektif dan efisien sangat relevan apabila kita
sandingkan dengan adanya model referendum. Referendum hadir untuk menengahi
dilematika proses pemilihan yang hanya di ikuti oleh satu pasangan calon.
Secara implisit bahwa metode referendum akan menjadi alternatif terakhir untuk
pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara. Setuju atau tidak setuju
merupakan pilihan rakyat. Apabila setuju, maka pasangan calon tunggal tersebut
dianggap sebagai pemenang, dan manakala pilihan rakyat tersebut tidak setuju
maka pemilihan di undur berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah apakah dari 3 daerah yang terancam tertunda (Tasikmalaya,
Blitar, dan Timor Tengah) dapat di jamin akan terjadi pilihan tidak setuju dan
mengancam pemilihan di undur berdasarkan waktu yang telah ditentukan?. Semua
kekhawatiran hanyalah menjadi sebuah asumsi yang akan merugikan hak-hak
konstitusional warga negara, seolah-olah relasi antara referendum dan
pelaksanaan pemilihan kepala daerah berasaskan Luber Jurdil adalah hal yang
dikotomis(saling bertentangan).
Referendum dapat diklaim sebagai amplifikasi (perluasan)
model pemilihan kepala daerah dan menjadi dimensi progresifitas pemilihan umum
di indonesia. Referendum tidak akan mencedrai semangat asas pemilihan umum
yaitu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Karena memang sebetulnya
proses tahapan pemilihan sampai pada saat pemungutan suara, cenderung sama
seperti layaknya pemilihan kepala daerah yang biasa dilakukan. Proposisinya
cukup elementer (mendasar) yaitu bentuk surat suara yang biasanya diisi oleh
beberapa pasangan calon dalam setiap kolom, namun untuk pasangan calon tunggal
dapat dibuat dua kolom dalam kotak suara, kolom yang satu diisi gambar pasangan
calon dan kolom yang satu laginya kosong(tidak ada gambar), kemudian dalam
kotak suara tidak digunakan penomoran namun diganti dengan kata setuju dan
tidak setuju. Mekanismenya tetap menggunakan pencontrengan, apabila ada
masyarakat yang memilih pasangan calon tunggal, pemilih berhak untuk
mencontrengnya, begitupun sebaliknya manakala pilihannya tidak setuju, pemilih
dapat melakukan pencontrengan di kolom yang kosong yang tersedia, sehingga pada
akhirnya kita dapat melihat hasil akhir dari pemilihan tersebut. Seandainya masyarakat
banyak memilih pasangan calon tunggal tersebut, dapat dipastikan dialah
pemenangnya, apabila masyarakat memilih kolom tidak setuju, maka secara mutatis mutandis (dengan
perubahan-perubahan yang diperlukan atau penting) untuk di undur pemilihannya
sampai pada pemilihan serentak selanjutnya.
Disinilah kebijakan ini diuji sejauh mana
mekanisme referendum dapat menjawab permasalahan di akar rumput. Setuju dan
tidak setuju adalah sebuah pilihan untuk meletakan masa depan kepemimpinan di
daerah yang mereka cintai. Dimensi dari sebuah demokrasi yaitu proses
penyaluran hak politik dan pengejawantahan kedaulatan rakyat melalui hak
pilihnya, bukan di sandarkan pada
konteks kuantitas peserta pemilihan. Hadirnya peserta pemilihan umum yang resmi
menjadi lebih efektif dan kompetitif dalam mengindahkan suguhan pesta demokrasi
yang berwarna. Kompetisi tidak lagi
berada pada kalangan elit dan para calon, namun berada pada paradigma
masyarakat dari berbagai stratifikasi sosial dalam memahami visi dan misi pasangan
calon tunggal untuk membawa arus perubahan daerah yang telah mereka bangun
bersama.
Demokrasi
adalat alat. Alat untuk mencapai masyarakat adil-makmur yang sempurna. Pemilu
adalah alat. Alat untuk menyempurnakan demokrasi itu. Jadi, pemilu sekedar alat
untuk menyempurnakan alat (Soekarno, Presiden Pertama RI)